Kisah Rasul Sang Penyadap Pohon Aren

Tepat jam tiga sore, kami bergegas melewati pohon-pohon yang rindang; pesona cagar alam itu pun ikut terpancar. Saya dan seorang kawan sedang menjalani sebuah perjalanan, lebih tepatnya pencarian. Kami meliuk-liuk memasuki punggung bukit, melewati hamparan kelapa sawit, beberapa pohon jati, dan tanaman lainnya. Jalan yang kami lalui berkelok-kelok. Tanah yang bercak akibat guyuran hujan tidak menyurutkan niat kami untuk segera menuju sebuah rumah yang jaraknya berkilo-kilo meter dari pemukiman warga sekitar. Kami hendak menemui seorang anak yang sejak putus sekolah memilih menghabiskan waktunya berdansa dengan alam, terutama pepohonan aren.

Ya, anak itu bernama Rasul. Kami pertama kali menemuinya ketika ia sedang di kebun, di antara ranting-ranting pohon dan tanaman coklat. Ia sedang bersama bapaknya menanam jagung di sela-sela pohon coklat tua yang sejak awal mereka tebang. Saat pertemuan pertama itu, Rasul dan seorang sahabatnya memegang tombak; tampaknya mereka baru saja selesai berburuh.

Rasul tumbuh besar bersama bapaknya, yang merupakan petani ulet. Bapaknya memilih tinggal di tengah jejeran pepohonan yang rindang. Sejak kecil, bapaknya memang memilih hidup jauh dari keramaian, sehingga terbiasa dengan kesunyian dan jauh dari kebisingan kehidupan di pinggir jalan aspal. Kehidupan mereka diliputi oleh proses bertani. Sejak kecil, Rasul dibiasakan agar bisa hidup bertahan di tengah alam.

Bapak Rasul, Thalib, selama hidupnya sudah beberapa kali berpindah tempat, dari kebun satu ke kebun lain. Ia menggarap kebun masyarakat setempat yang sudah mengizinkan lahan mereka untuk digarap dan ditempati, di mana ia selalu membangun gubuk sederhana. Kini, ia memilih menggarap lahannya sendiri seluas kurang lebih setengah hektar dan menetap di sana selama lima bulan, membangun rumah gubuk berukuran 7×4 meter persegi. Meski begitu, Rasul tidak memilih tinggal lama bersama bapaknya di gubuk itu. Ia lebih sering pulang dan tinggal di rumah saudari ibunya di pemukiman warga sekitar, hanya sesekali menemani bapaknya tinggal di tengah kebun milik mereka.

Rasul adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dua saudaranya memilih mencari nafkah di tempat lain, jauh dari aktivitas bertani yang dijalani bapak dan Rasul, sedangkan adiknya yang bungsu masih bersekolah di bangku sekolah dasar. Sejak Rasul putus sekolah karena keterbatasan biaya yang tidak bisa ditanggung keluarga, setelah lulus sekolah dasar, ia memilih jalannya sendiri: menjadi petani bersama bapaknya.

Seperti bapaknya, Rasul kecil lahir di tengah kebun. Tangisan pertamanya menggema di antara pepohonan yang menjulang tinggi ke angkasa. Anak lelaki itu lahir dengan perasaan campur aduk antara cemas dan Bahagia, oleh kedua orang tuanya.

Kini, usia Rasul telah menginjak 15 tahun. Sehari-harinya, ia lebih banyak menghabiskan waktu di kebun bersama bapak dan sahabat karibnya, Saleh. Mereka menjejak hamparan kebun yang lebat dan sangat piawai dalam proses penyadapan pohon aren.

Seperti Rasul, Saleh juga putus sekolah. Namun, berbeda dengan Rasul, Saleh memilih tinggal di tengah kebun bersama pamannya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menyadap aren, mengambil makanan kambing, dan berburu babi hutan dengan anjing peliharaan mereka, mereka menyebutnya Moranggang. Hewan dan pepohonan seolah menjadi teman mereka untuk bercengkrama. Karena itu, Rasul dan Saleh tidak punya waktu untuk sekadar nongkrong bersama teman-teman mereka.

Rasul dan Saleh akan berpisah saat petang hampir tiba dan baru bertemu lagi keesokan paginya. Saat petang, mereka pulang ke tempat tinggal masing-masing. Rasul akan berjalan sendiri menuju rumah tantenya, melewati pepohonan rimbun setelah pekerjaan di kebun selesai, lalu kembali ke kebun keesokan paginya, dan begitu seterusnya.

Seperti saat sekolah dulu, Rasul harus bangun pagi dan segera menuju kebun. Jarak tempuh sekitar satu kilometer ia lalui dengan berjalan kaki, lalu melakukan aktivitas seperti biasa: merawat kebun, kambing, dan menyadap pohon aren.

“Saya harus bangun pagi, lalu ke kebun. Bapak dan kambing-kambing saya sudah menunggu. Tiap hari saya juga harus menyadap aren,” kata Rasul.

Rasul menyadap lima pohon aren yang dipercayakan warga sekitar kepadanya, sementara bapaknya menyadap empat pohon dengan lokasi berbeda. Setiap pagi dan sore, Rasul menjemput sendiri air aren yang tertampung dalam jerigen yang mengendap semalaman. Ia tahu betul apa yang harus dilakukan selama di kebun, menyusuri labirin menuju titik lokasi pohon aren, melewati sungai, pepohonan, dan semak belukar.

Dalam sehari, Rasul dan bapaknya mampu memproduksi rata-rata lima bungkus gula merah aren dari air nira pohon aren yang mereka rawat, total sembilan pohon. “Saya menyadap empat pohon, sedangkan Rasul lima pohon,” kata Thalib.

Sejak Thalib merasa tubuhnya tak lagi sekuat dulu dan kadang pusing, ia tidak bisa bekerja sekuat dulu. Hal itu diduga akibat kecelakaan yang menimpanya tempo hari. Thalib pernah jatuh dari pohon, yang terus mempengaruhi stamina hingga kini. Ia enggan memanjat pohon aren yang tinggi karena trauma. Akhirnya, ia hanya menyadap pohon aren yang lebih pendek. Meski begitu, Thalib sangat terbantu oleh keterampilan Rasul yang mulai ikut menyadap pohon aren bersamanya setelah memilih tidak melanjutkan sekolah.

Rasul mengaku keterampilannya menyadap aren terjadi secara alami. Ia memperhatikan orang dewasa di sekitarnya mengambil air nira dari pohon aren, lalu perlahan mencoba hingga terbiasa sampai sekarang.

Sumber pendapatan keluarga Rasul sangat bergantung pada hasil olahan air nira menjadi gula merah. Rasul dan bapaknya berperan mengumpulkan air nira setiap hari, sementara ibu Rasul mengolahnya menjadi gula. Hasil produksi gula yang terkumpul di rumah sederhana di tengah kebun, setelah mencapai sekitar dua puluh bungkus, akan diangkut oleh ibu Rasul ke tempat pengepul—yang tak lain adalah tante Rasul sendiri. Tantenya menjual gula merah itu di pusat perbelanjaan Wonomulyo. Setiap kali gula terjual, Rasul mendapat uang saku sekitar lima puluh ribu rupiah. Biasanya, mereka mampu menghasilkan dua puluh bungkus dalam waktu lima sampai tujuh hari, tergantung ketersediaan air nira.

Kini, Rasul dan Saleh hidup dan besar dengan rutinitas itu. Mereka adalah sosok yang bertahan dari getirnya kehidupan mengolah air nira dan menanam kebutuhan makan mereka sendiri. Realitas hidup memaksa mereka memilih jalan masing-masing di tengah hamparan alam yang selalu mereka rawat. Rasul adalah sosok pekerja keras seperti ayahnya, menghabiskan waktu untuk berkebun, merawat kambing, dan menyadap pohon aren di usianya yang masih muda.

Di saat anak-anak seusianya pergi ke sekolah hingga ke kota, Rasul memilih berkebun, mengasah keterampilannya, dan berusaha bertahan hidup. Alasannya sederhana: agar bisa terus bertahan. Ketika anak-anak seusianya sibuk dengan ponsel cerdas, Rasul justru bermain dengan hewan dan pohon aren yang menjulang tinggi ke angkasa.

 

Baca Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup