Kedai Kopi Klasik: Antara Rasa dan Gaya Hidup

Kedai Kopi Klasik, sebuah tempat yang tidak asing bagi kebanyakan masyarakat Polewali Mandar, apalagi masyarakat yang menetap di perkotaan. Pengunjungnya? Jangan ditanya, sangat ramai dan begitu beragam—dari kaum muda yang masih duduk di bangku SMP hingga manusia yang sudah berumur.

Kedai ini beralamat di Jl. Muh. Yamin No. 145, Madatte, Polewali Mandar. Tempat yang sederhana, namun persoalan rasa dari racikan kopi klasik akan membuat sesiapa saja penikmat kopi tidak akan mampu melupakan nikmatnya ngopi.

Racikan khas kopi lokal Sulawesi dari Nosu, Mamasa, dan sentuhan barista memperkuat cita rasa yang tiada tara. Saya pun, orang yang tidak betul-betul penikmat kopi, suka dengan sentuhan itu—walaupun terkadang saya sih gemetaran ketika selesai meminumnya. Entahlah, apakah ini dari efek asam lambung?

Tapi terlepas dari itu semua, intinya bahwa Kopi Klasik ialah definisi dari kopi nikmat yang mampu menciptakan perbedaan dan ciri khas dari seluruh kopi yang ada di kedai-kedai Kabupaten Polewali Mandar. Dan saya yakin, bagi kebanyakan anak muda Polewali tahu tentang kedai ini.

Tetapi di balik kesederhanaan tempat, cita rasa, dan keramaiannya, tersimpan kehidupan sosial yang perlu dibahas oleh saya dalam teks-teks yang singkat ini.

Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari pertanyaan sahabat saya dari Yogyakarta yang kebetulan berkunjung ke tempat ini. “Di sini gak ada yang diskusi ya?” ujarnya dengan nada terheran-heran, Syafiq, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.

Dan saya yakin bahwa pertanyaan itu muncul dari struktur kebudayaan yang ia alami selama hidup. Kalaulah misalnya ia bercerita bahwa setiap ia ke coffee shop, pasti yang didapati ialah kehidupan produktif. Yaah, mungkin saja rapat-rapat para pejabat, diskusi pemuda, orang-orang yang lagi nulis, hingga orang yang datang untuk membaca buku. Dan di sini sangat berbeda 180 derajat.

Di atas, penulis telah menyampaikan bahwa pengunjung dari kedai ini berasal dari kaum muda yang masih duduk di bangku sekolah, yang misalnya kalau kita berkunjung biasa kita temui di siang hari bahkan di jam-jam sekolah. Mereka datang untuk sekadar bermain domino dan bermain game. Yah, mustahil kan anak sekolah pada hari ini datang untuk berdiskusi tentang bangsa ini, apalagi berbicara tentang bagaimana nasib para petani lokal misal di tengah arus kebijakan pemerintah. Lah wong pendidikan kita juga hanya formalitas untuk menggugurkan kewajiban sebagai bangsa dengan cita-cita dan harapan mencerdaskan, dan tidak sama sekali mencerdaskan.

Malam hari apalagi, tempat ini sangat ramai oleh pengunjung: bising musik, bunyi domino, hingga teriakan Gen Z khas pemain game bercampur aduk dalam telinga. Mereka hadir bukan hanya untuk menikmati Kopi Klasik, tetapi datang sebagai tuntutan seorang anak muda Polewali untuk bersua, nongkrong, bersenang-senang. Eh, bersenang-senang? Kata ini cukup kontradiktif juga ya, bagi pemain Mobile Legend yang kalah. Makin stres kalau saya lihat.

Tetapi lupakan itu. Bintang, seorang penikmat Kopi Klasik, mengatakan bahwa dulu yang datang ke sini memang penikmat kopi, tetapi lambat laun itu sudah mulai bergeser.

Sebab tuntutan ranking game yang perlu di-update dan idealnya memang harus berkumpul, mengatur strategi-strategi, salah dikit dikata-katai dengan kata kasar.

Pemenuhan Instastory dan tebar pesona bagi mereka yang merasa perlu dilirik pun, menurut Bintang, ikut meramaikan keseharian Kedai Kopi Klasik.

Sehingga ruang sederhana ini menyimpan cerita kompleks: ia menawarkan nikmat kopi lokal yang berakar dari tanah Sulawesi, sekaligus menjadi panggung bagi generasi muda Polewali Mandar mengekspresikan dirinya. Namun, di balik aroma kopi yang pekat, kita menemukan wajah kebudayaan yang sedang berubah. Ngopi tidak lagi sekadar ritual menikmati rasa, melainkan bagian dari gaya hidup—dari tuntutan eksistensi di media sosial, hingga kebutuhan untuk selalu hadir dalam lingkaran pergaulan.

Di sinilah kontradiksi itu lahir. Ruang yang digunakan sebagai tempat berdiskusi, membaca, atau melahirkan gagasan, di Polewali Mandar dan kota-kota lain di ujung sana justru dipenuhi tawa, teriakan pemain game, denting domino, dan gemuruh musik. Pertanyaan sahabat saya dari Yogyakarta tadi menggugah: mengapa kedai kopi di sini tak banyak melahirkan percakapan kritis? Barangkali jawabannya ada pada generasi muda yang lebih memilih hiburan ketimbang refleksi.

Namun dari kontradiksi itulah, Kedai Kopi Klasik menjadi menarik. Ia adalah cermin zaman—memperlihatkan bagaimana tradisi rasa bertemu dengan arus gaya hidup modern. Antara kopi yang otentik dan pergaulan yang bising, tersimpan realitas sosial bahwa anak muda Polewali masih mencari bentuk ruang publiknya sendiri. Maka, kedai kopi ini bukan hanya soal nikmatnya minum kopi, tetapi juga tentang pertanyaan lebih besar: ke arah mana budaya kita bergerak di tengah derasnya modernitas?

Baca Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup