Guru Swasta Honorer Kemenag “Jangankan isi, Kulit pun Tak Dapat”.

Kemarin di Bima, ratusan guru honorer sekolah swasta naungan Kemenag turun ke jalan melakukan demonstrasi menuntut agar pemerintah tidak tebang pilih dalam urusan kesejahteraan guru-guru honorer.

Tuntutan itu bukannya tidak punya alasan. Mereka melihat bagaimana masifnya Kemendiknas mengangkat tenaga-tenaga honorernya yang banyak di antaranya tidak merasakan getirnya mengabdi puluhan tahun, ikut merasakan hangatnya harapan masa depan. Walaupun hanya berstatus P3K paruh waktu.

Fakta itu jelas menyulut gerakan aksi guru-guru naungan Kemenag yang merasakan kecemburuan sosial, menuntut persamaan dengan guru-guru Kemendiknas.

Dari peristiwa itu selalu muncul banyak pertanyaan: apa bedanya kita dengan mereka? Bukankah kita juga adalah seorang guru? Mengapa kita diperlakukan sebegitu tidak adilnya? Apakah yang melatarbelakangi sehingga negara menutup mata terhadap nasib guru Kemenag yang masih berstatus honorer?

Sejauh ini, tidak ada alasan yang paling klasik selain dua kata: Guru sekolah negeri dan guru sekolah swasta.

Guru sekolah negeri mendapatkan isi, sedang guru honorer swasta, kulit pun tak dapat.

Wajar saja mereka kecewa. Selama ini yang dialami guru sekolah swasta diperlakukan bak anak tiri.
Dipaksa profesional sementara mesin butuh bensin.
Seakan ditelantarkan setelah puas menggunakan jasanya.
Ringkasnya, guru swasta hanya diisap waktu dan tenaganya tanpa ditimbang nasibnya.

Guru honorer kalau tidak mempunyai jam ngajar yang banyak, tidak akan mendapatkan apa-apa selain rasa capek. Seharian bergelut dengan materi ajar, plus urusan lainnya yang berkaitan dengan sekolah.

Singkatnya, guru honorer hanya menjadi buruh yang mendapatkan bayaran tidak sesuai kebutuhan pokok.
Jangan salahkan sekolah tidak terurus kalau gurunya punya pekerjaan sampingan.

*****

Tempo hari yang lalu, pidato Pak Menag yang sempat viral itu mengatakan, “Kalau mau kaya jangan jadi guru.”
Kalau video itu ditonton sampai habis memang ada betulnya, tapi tidak sepenuhnya benar.
Guru memang seharusnya tidak melupakan fondasi sufisme, bahwa mendidik adalah salah satu jalan mulia. Perilaku sufi dibutuhkan di era derasnya arus modernitas.

Tetapi jangan karena alasan sufi,
hak orang bekerja tidak ditimbang.

Sayyidina Ali pernah berkata, “Bayarlah hasil kerja keras seseorang sebelum keringatnya kering.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup