Hari Tani Nasional : Momentum Aksi dan Refleksi

Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang kemudian diperingati sebagai Hari Tani, bukan hadir begitu saja, melainkan lahir dari perjuangan panjang dan perlawanan petani terhadap hukum agraria kolonial. Saat itu, sistem pertanian dan kepemilikan tanah sangat timpang. Sebagian besar tanah dikuasai perusahaan asing dan tuan tanah, sehingga menciptakan ketidakadilan, kesengsaraan, dan kemiskinan bagi petani. Karena itu, setiap 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional untuk mengenang dan menghargai perjuangan mereka.

UUPA memberi angin segar bagi petani karena menghadirkan kepastian hukum atas hak-hak tanah bagi seluruh rakyat, khususnya kaum tani. Peringatan Hari Tani Nasional pun menjadi momentum penting untuk mengingatkan kita bahwa kesejahteraan petani harus ditempatkan sebagai prioritas utama.

Hari Tani juga seharusnya menjadi semangat baru untuk keluar dari belenggu masalah yang tak kunjung selesai. Harga komoditas yang tidak menentu membuat pendapatan petani terus menurun dan menyeret mereka ke jurang kemiskinan. Ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimia, dengan harga yang kian melambung, justru memperparah kondisi. Hasil panen tidak sebanding dengan biaya produksi, sehingga petani kerap terjerat utang.

Lebih jauh dari soal kemisikinan, praktik pertanian kimia tidak hanya membebani petani tetapi juga merusak tanah dan lingkungan, yang sesungguhnya menjadi sumber kehidupan banyak orang. Riset Han dan Farooq (2000) memperkuat fakta ini: “penggunaan bahan kimia menimbulkan pencemaran lingkungan, polusi, mematikan perairan akibat pestisida, menurunkan kualitas tanah, bahkan mengubah pH tanah.”

Pemerintah seharusnya hadir untuk menjawab persoalan ini, bukan justru melahirkan kebijakan yang semakin menjerumuskan petani pada lubang kesengsaraan. Absennya regulasi oleh pemerintah dengan harga standar yang layak membuat mereka tak berdaya menghadapi permainan pasar. Subsidi pupuk, alih-alih menjadi solusi, malah mendorong penggunaan berlebih yang merusak tanah dan lingkungan.

Pemerintah semestinya membuat kebijakan yang mendukung sistem pertanian alami yang ramah lingkungan. Seperti seruan dan program yang mengarah pada dukungan pertanian alami. Namun sayangnya, hal itu belum terlihat nyata.

Langkah-langkah perubahan justru banyak dimulai dari petani sendiri. Contohnya Kelompok Petani Kampung (KPK). Sebagian anggotanya berhasil lepas dari jeratan pupuk dan pestisida kimia yang selama ini menguras kantong, menimbulkan ketergantungan, serta merusak lahan dan tanaman. Sejak beralih ke pertanian alami, biaya produksi mereka menurun drastis. Bahan pembuatan kompos dan nutrisi mudah diperoleh dari sekitar, dengan biaya murah. Biaya yang dulunya dikeluarkan untuk membayar utang, kini bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi lahanpun kian membaik, tidak mengeras dan sudah lebih subur.

Usaha nyata, kekompakan, kemampuan KPK untuk keluar dari ketergantungan produk kimia dan mampu menciptakan sistem pertaniannya sendiri, cukuplah menjadi bahan refleksi bahwa praktik pertanian Alami yang ramah lingkungan telah menjadi pilihan tepat bagi mereka dalam pertanian berkelanjutan. Ini yang mesti dikdukung oleh pemerintah dengan kebijakan yang mampu mendorong praktik pertanian alami lebih membumi, memberikan keleluasaan, tanpa dibatasi seperangkat aturan yang membuat petani tak bisa berinovasi dan berkreasi.

Akhirnya Saya dari penulis mengucapkan Selamat Hari Tani Nasional Semoga kedepannya segala kebijakan tentang sistem pertanian, berpihak pada kepentingan petani, bukan kepentingan penguasa dan pemodal. Kesejahteraan dan kedaulatan petani harus jadi prioritas utama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup