Polisi, Reformasi, dan Simulasi Keterbukaan: Membaca Kapolri dengan Baudrillard

Oleh : Herwin Montolalu
Ketika Kapolri menyatakan bahwa institusi kepolisian “terbuka terhadap semua upaya perbaikan,” publik seakan diberi harapan: ada ruang bagi kritik, ada celah untuk reformasi. Namun, jika dibaca dengan kacamata Jean Baudrillard, kita segera sadar: yang sedang dimainkan bukanlah realitas perbaikan, melainkan simulasi keterbukaan.
Dalam dunia simulasi, tanda dan citra lebih penting daripada kenyataan. “Polri terbuka” bukanlah fakta, melainkan sebuah image yang harus ditampilkan di layar publik agar institusi tetap terlihat hidup. Publik tidak sedang melihat kepolisian sebagaimana adanya, melainkan versi hiperreal—sebuah citra ideal yang jauh dari realitas sehari-hari ketika masyarakat berhadapan dengan polisi di jalanan, di kantor, atau di ruang-ruang gelap kekuasaan.
Rumor pergantian Kapolri membuat simulasi ini semakin kentara. Kata-kata tentang keterbukaan bisa dibaca bukan sekadar komitmen, melainkan upaya mempertahankan tanda legitimasi di tengah ancaman pergeseran kuasa. Seolah-olah reformasi sedang berjalan, padahal yang sebenarnya bergerak adalah kursi kekuasaan, bukan institusi.
Baudrillard pernah mengatakan: “Di era hiperrealitas, tanda lebih nyata daripada realitas itu sendiri.” Maka, dalam wacana ini, reformasi Polri hidup sebagai tanda, bukan sebagai kenyataan. Masyarakat diberi tontonan bahwa polisi mau berubah, tapi yang sesungguhnya dipertaruhkan hanyalah citra di media, bukan transformasi di tubuh institusi.
Ironinya, keterbukaan yang digembar-gemborkan bisa jadi hanyalah bentuk tertutup paling rapat: tertutup oleh lapisan citra, retorika, dan tanda-tanda yang terus diproduksi untuk menutupi kenyataan yang keras.
Maka pertanyaannya: apakah polisi benar-benar terbuka, ataukah publik hanya sedang dipaksa hidup dalam hiperrealitas keterbukaan—sebuah ilusi bahwa kritik akan mengubah kenyataan, sementara yang berubah hanyalah wajah di pucuk institusi?