Totamma’ : Pergeseran Nilai dan Kesadaran Baru di Era Digital, Fenomena “viral” atau Kepedulian Sosial

Oleh : Ahmad Zaky Al Mahdaly
Di Tanah Mandar sudah menyejarah sebuah tradisi “totamma’ mangaji” missawe sayyang. Tradisi ini adalah buah kesuksesan besar syiar dakwah ulama Islam Mandar. Missawe sayyang adalah tradisi kebudayaan pra-Islam kemudian dirangkul menjadi tradisi untuk menghargai Islam (anak-anak yang khatam Qur’an) dimuliakan untuk menunggangi kuda jantan yang mewah dan anggun.
Dulu kuda ini hanya boleh ditunggangi anak-anak dalam istana kerajaan, tapi dalam perjalanannya Islam hadir dan mendapatkan tempat mulia di sisi orang-orang mulia.
Ingat, saya tegaskan tradisi yang kita tonton hari ini adalah kesuksesan dakwah Islam di masa lalu. Dan banyak lagi upaya ulama dahulu menjadikan kebiasaan orang-orang dahulu sebagai media dakwah untuk menguatkan Islam di hati orang-orang Mandar. Hampir semua aktivitas kebudayaan diinfiltrasi menjadi seolah sebagai kebiasaan Islam.
Sesajen disulap menjadi pappasoro’ atau tulak bala, lebih lanjut kebiasaan seperti. Maccera’ lopi, maccera’ boyang, maccera’ uma, dan sebagainya diubah menjadi lantunan doa-doa dan sholawat barazanji. Sekali lagi, ini adalah dakwah ulama terdahulu. Bahkan jika di Pulau Jawa dikenal sejarah Wali Songo mendakwahkan Islam melalui hiburan rakyat yang dikenal dengan wayang. Justru di Mandar bukan hanya tontonan yang menjadi media dakwah, tapi bahkan alat produksi yang kita kenal hari ini sebagai lopi sandeq diinfiltrasi menjadi media dakwah. Masyarakat luas Mandar percaya bahwa semiotika sandeq tersirat dakwah Islam.
Kenapa ini penting? Untuk memahami secara utuh mengapa tradisi kita di Mandar ini justru menjadi bagian dari perayaan keagamaan (bukan fardhu ya), tapi ini adalah urusan kecintaan (mahabbah) pada artefak-artefak keagamaan.
Kekinian, totamma’ disorot karena ada pergeseran nilai di dalamnya. Salah satunya karena orang-orang yang tampil di atas kuda tidak lagi menampilkan keanggunan, wibawa, dan kecantikan (walaupun ini kasuistik) dan refleks. Ingat, totamma‘ itu bukan sesuatu yang bersifat rukun dan wajib yang jika dilanggar menjadi dosa dan merusak citra agama. Sama sekali tidak.
Tapi Totamma‘ adalah urusan tradisi dan kebudayaan yang lahir sebagai bentuk ekspresi, dukungan, dan pemuliaan pada sesuatu yang dicintai. Ini urusan cinta (mahabbah), dan ekspresi dalam mencintai sesuatu tidak bisa dihakimi oleh logika apa pun.

Apakah ini persoalan pergeseran nilai saja? Tentu tidak, tapi arus ini dibawa oleh gerakan fenomena “viral”. Sekarang sesuatu yang bisa “viral” bisa menghasilkan cuan, yang membuat kita sulit membedakan mana yang murni sebagai tindakan kepedulian sosial dan mana gerakan pemburu dollar. Tapi dari keduanya ini tidak ada yang salah, semua boleh dan sah-sah saja.
Yang harus banyak disalahkan di sini adalah pendakwah agama yang sudah mulai mengabaikan tradisi yang dibangun oleh ulama terdahulu, yang telah bersusah payah mendekatkan agama sampai pada ruang vital masyarakat Mandar.
Bahkan malah sekarang justru banyak pendakwah yang menghakimi apa yang sudah menjadi fondasi perjuangan ulama dulu. Mereka datang membid’ahkan bahkan menyesatkan apa yang telah dibangun para pendahulu.