ACAB: Sandi Perlawanan Rakyat usai tewasnya Ojol Affan Kurniawan

Jakarta, 29 Agustus 2025, Asap gas air mata masih menggantung di langit Senayan sore itu. Batu, botol, dan sisa-sisa petasan berserakan di jalan yang basah oleh semprotan water cannon. Di tengah hiruk-pikuk bentrokan 28 Agustus, sebuah peristiwa tragis merobek hati banyak orang: Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek online, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob ketika hendak pulang ke rumah.

Video detik-detik maut itu tersebar cepat di media sosial. Rantis yang melaju kencang, tubuh Affan yang tersungkur, dan teriakan panik orang-orang di sekitar menjadi gambaran luka kolektif. Dalam hitungan jam, linimasa X dipenuhi dengan satu kode yang singkat namun penuh makna: 1312.

Bagi yang belum tahu, 1312 bukanlah sekadar angka. Ia adalah sandi untuk kalimat yang telah menjadi simbol perlawanan di berbagai belahan dunia: ACAB.
Huruf-huruf itu diterjemahkan menjadi angka—A (1), C (3), A (1), B (2)—agar lolos dari sensor dan larangan.

ACAB sendiri adalah akronim dari ungkapan keras: “All Cops Are Bastards”. Kalimat yang pertama kali tercatat sejak 1920-an di Inggris ini lahir dari pengalaman panjang rakyat berhadapan dengan kekerasan aparat. Dari tato penjara, grafiti jalanan, hingga lirik band punk, ACAB berkembang jadi simbol universal perlawanan terhadap represi.

Kini, sandi itu kembali muncul di Indonesia. Nama Affan menjadi pemicu. Di balik tagar dan kode yang beredar, ada amarah, ada duka, sekaligus ada pesan: bahwa masyarakat tak lagi bisa menutup mata terhadap kekerasan yang menelan nyawa warga sipil.

Aksi yang awalnya berlangsung damai di depan kompleks parlemen berubah jadi bentrokan di berbagai titik: Penjernihan, Pejompongan, Palmerah. Polisi menembakkan gas air mata, massa melawan dengan batu. Dan di antara kekacauan itu, seorang anak muda yang hanya ingin pulang setelah seharian bekerja keras sebagai ojol kehilangan nyawanya.

Di kontrakan sempit di Jalan Tayu, Menteng, keluarga Affan menunggu dengan pilu. Mereka kehilangan tulang punggung, sementara ribuan warganet menggemakan kembali simbol perlawanan global itu: 1312.

Lebih dari sekadar angka, ia kini menjadi bahasa duka dan amarah yang menyatukan orang-orang di jalanan dan di dunia maya. Sebuah kode sederhana, tapi sarat makna, yang lahir dari rasa kehilangan atas nyawa yang seharusnya tidak terenggut.

Baca Lainnya

Memimpikan Martil

Hamza Katta
0
0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup