Baju Korpri dan Moralitas

Oleh : Herwin Montolalu

Di media sosial, ribut-ribut soal baju Korpri hanyalah cermin dari apa yang Nietzsche sebut moralitas kawanan. Perdebatan ramai bukan tentang substansi (kerja birokrasi, pelayanan publik, atau etika jabatan), melainkan sekadar pada simbol: warna, motif, pakaian. Kawanan beramai-ramai membingkai moralitas dari hal superfisial, sambil melupakan inti persoalan: apakah negara benar-benar hadir melayani rakyat?

Nietzsche akan mengatakan: ini adalah bentuk dekadensi. Orang lebih sibuk pada moralitas permukaan (simbol, kepantasan, keseragaman), ketimbang menciptakan nilai baru yang lebih kuat (integritas, keberanian melayani, penciptaan kebijakan yang bermakna). Moralitas Korpri, sebagaimana pakaian itu, hanyalah “topeng” yang dipakai kekuasaan—seperti mahkota yang menutupi kepala busuk seorang raja, untuk meminjam kata-kata Rendra.

Nietzsche akan mengajak kita untuk membongkar framing: mengapa seragam begitu diagungkan? Bukankah seragam hanyalah cara kekuasaan mengendalikan identitas pegawainya, membatasi kebebasan individu, dan menutup kelemahan institusional dengan keseragaman visual?

Alih-alih sibuk ribut soal baju, Nietzsche akan mendorong: cipta nilai baru. Jangan puas dengan moralitas kawanan yang berhenti di pakaian dan simbol. Tanyakan: apakah birokrat hidup dengan integritas? Apakah pelayanan publik mencerminkan keberanian menciptakan nilai baru bagi rakyat? Jika tidak, maka baju hanyalah kain yang menutupi kehampaan moral.

Singkatnya, Nietzsche akan melihat kasus baju Korpri di medsos sebagai gejala moralitas kawanan, simbolisme kosong, dan dekadensi nilai. Jalan keluarnya bukan pada seragam, tapi pada penciptaan nilai otentik dalam pelayanan dan keberanian birokrasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup