Belajar dari Batu Tawas: Tak Wangi tapi Jujur

Sebagai penderita asam lambung akut, saya selalu resah mencium bau yang bersumber dari ketiak. Bukan apa-apa—begitu aroma itu lewat, kepala langsung nyut-nyutan, dada terasa sesak, dan lambung seperti naik ke ubun-ubun. Kalau sudah begitu, jangankan berpikir jernih, menatap wajah orangnya saja sudah seperti menatap tragedi nasional.

Menyadari bahwa ini adalah persoalan Ummat di situlah saya mulai menghormati betapa pentingnya satu benda kecil yang sering diremehkan umat manusia: “batu tawas”. Benda yang sederhana, jujur, dan tanpa niat menggoda siapa pun. Ia tak wangi, tak menawan, bahkan bentuknya aneh—seperti potongan es batu yang gagal. Tapi anehnya, justru benda itulah yang dipercaya manusia untuk menjaga kehormatan di bawah lengan ditengah kehidupan sosial yang makin panas dan gerah ini.

Tawas tidak menjanjikan keharuman, tapi ketenangan. Ia tidak membuat ketiak semerbak seperti iklan sabun mandi, tapi setidaknya ia menahan aroma kehidupan yang mulai menyimpang. Ia menekan ambisi bakteri yang berlebihan. Pendek kata, tawas adalah penjaga moral di wilayah yang lembap.

Namun ada satu hal yang perlu diingat: jangan sekali-kali menggosok batu tawas pada ketiak yang sedang tergores atau lecet. Sebab di sanalah Anda akan mengenal keperihan yang sesungguhnya—perih yang tak bisa ditolong oleh janji, apalagi oleh slogan. Barangkali di situlah pelajarannya: kejujuran memang menenangkan, tapi kalau disampaikan pada luka, rasanya pedih juga.

Seperti banyak penjaga moral di negeri ini, tawas juga punya kelemahan: suka meninggalkan noda kuning di baju kesayangan. Ketiak selamat, tapi pakaian rusak. Sungguh ironi yang bahkan wangi pun tak sanggup menutupi.

Kalau direnungkan baik-baik, bangsa kita ini tak jauh beda dari batu tawas. Kita tidak benar-benar wangi, tapi berusaha keras agar tidak tercium bau busuk. Kita menutupi krisis dengan rapat koordinasi, membungkus masalah dengan seremoni, dan menyemprotkan janji-janji agar udara politik terasa segar.

Tapi, seperti tawas yang meninggalkan noda, hasilnya sering begitu-begitu saja. Setelah proyek, ada masalah. Setelah program, muncul bocoran. Setelah pesta, tinggal tagihan. Ketiak bangsa ini memang aman, tapi bajunya makin kuning.

Tawas bekerja dalam diam. Ia tidak memerlukan tepuk tangan, apalagi baliho. Mungkin itu yang membuatnya jarang dipilih jadi pejabat. Bayangkan kalau ada calon pemimpin sejujur tawas: berkata “Saya tidak bisa membuat Anda wangi, tapi saya berjanji membuat Anda tidak terlalu bau.” Hasil surveinya mungkin kecil, tapi sejarahnya bisa jadi harum.

Masalahnya, kita bangsa yang menyukai wewangian instan. Kita lebih percaya pada deodoran beraroma bunga sakura daripada batu tawas yang sederhana. Kita lebih suka terlihat wangi di kamera daripada bersih di hati.

Maka jadilah bangsa ini hidup di antara dua kutub: menolak bau, tapi juga takut jujur. Kita sibuk mencari kosmetik nasional, slogan baru, jargon segar, aroma pembangunan—tapi tidak pernah menanyakan sumber bau sesungguhnya: dari mana datangnya amis itu? Dari rakyatkah? Dari penguasa? Atau dari kebiasaan kita sendiri yang suka menutup hidung, bukan membersihkan tangan?

Mungkin, di titik ini, kita memang harus belajar pada batu tawas. Ia diam, tapi bekerja. Ia sederhana, tapi efektif. Ia tidak menjanjikan surga, hanya mencegah aroma neraka yang berdendang di lubang hidung. Dan meskipun kadang meninggalkan noda, setidaknya ia tidak berpura-pura jadi parfum impor.

Kalau suatu hari bangsa ini bisa meniru kejujuran batu tawas—tidak wangi, tapi bersih dari kepura-puraan—mungkin kita tak perlu lagi mencuci noda dengan air mata. Cukup dengan kejujuran dan segenggam kesadaran. Seperti orang kampung yang tahu, bahwa yang penting bukan bau harum, tapi jangan busuk sebelum meninggal, agar tubuhmu tak malu dipeluk angin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup