Di Balik Sungai yang Membisu: Kisah Desa yang Terlupakan

Di sebuah desa yang tenang di Kabupaten Polewali Mandar tepatnya di Kecamatan Tutar, Kelurahan Padang Mawalle terdapat kisah yang menggugah hati. Di balik keindahan alam yang memeluk desa ini, mengalir sebuah sungai yang memisahkan dua wilayah: satu di sisi Padang Mawalle, dan satu lagi di seberangnya, di Kecamatan Alu. Jaraknya tak jauh, hanya sekitar 25 meter. Namun, bagi warga, sungai itu bukan sekadar aliran air ia adalah rintangan yang harus ditaklukkan setiap hari.
Untuk menyeberang, warga hanya mengandalkan rakit kayu tua yang telah lama berjasa, namun kini renta dan berisiko. Saat air pasang datang, rakit itu bergoyang tak menentu, seolah menguji keberanian siapa pun yang hendak melintasinya. Bukan hanya keselamatan yang menjadi taruhan, tetapi juga biaya. Setiap sepeda motor dikenakan tarif Rp2.000 sekali jalan. Artinya, Rp4.000 harus dikeluarkan setiap hari hanya untuk pulang-pergi jumlah yang terasa berat bagi mereka yang bergantung pada rakit ini untuk bekerja, bersekolah, dan beraktivitas.
Kondisi ini dirasakan oleh warga di kedua sisi sungai. Meskipun terpisah secara administratif, warga Padang Mawalle dan Kecamatan Alu sama-sama menanti jembatan yang tak kunjung dibangun. Sungai ini bukan hanya menjadi batas wilayah, tetapi juga penghalang harapan seperti kutukan yang belum terangkat.
Namun, harapan itu belum padam. Seorang warga asli Desa Puppuring, yang tak lagi sanggup menahan kepedihan atas kondisi ini, menyampaikan harapannya kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat, khususnya kepada Gubernur dan Wakil Gubernur. Ia memohon agar ada perhatian serius dan langkah nyata untuk membangun jembatan penghubung. Bagi warga, jembatan ini bukan sekadar infrastruktur—ia adalah simbol keselamatan, kenyamanan, dan masa depan yang lebih layak.
“Kami sudah sering menyampaikan pengajuan kepada pemerintah Kabupaten Polewali Mandar maupun Provinsi Sulawesi Barat, namun hingga kini belum ada tindak lanjut,” keluhnya, penuh harap.
Sungai ini tak hanya menghambat pergerakan barang dan orang. Ia juga menjadi tantangan harian bagi anak-anak yang harus menyeberang demi menuntut ilmu. Mereka belajar menanggalkan rasa takut, melawan arus, dan tetap melangkah, meski rakit yang mereka naiki tak selalu bersahabat.
Kini, warga hanya bisa berharap agar suara mereka didengar. Agar langkah nyata segera diambil. Sebuah jembatan sederhana, namun penuh makna, adalah harapan yang mereka titipkan kepada pemerintah. Harapan agar kehidupan mereka tak lagi dibatasi oleh sungai yang menghalangi perjalanan setiap hari.
Dan harapan itu kini menggantung di langit keputusan—apakah pemerintah akan menjawab jeritan warga yang terus berharap, atau membiarkan kisah pilu ini terus mengalir tanpa ujung.






