Kisah Sangging – Iman yang Dibegal Kemiskinan

Orang-orang beringsut pulang setelah selesai bergantian memberi ucapan selamat pada seorang tokoh terkemuka dan religius. Selain tajir, ia juga dikenal gemar membangun masjid dan naik haji.

I Sangging, sejak tadi berselonjoran kaki, menghisapi rokok yang sisa seupil lagi habis. Ia bahkan tanpa berkedip menatapi orang-orang itu keluar masuk rumah untuk memberi selamat atas terpilihnya menjadi tokoh penting di daerahnya.

Sangging sesekali menghela napas panjang. Tangannya ia jadikan penopang dagunya, seakan menolak untuk tunduk pada nasib. Ia menyadari, kopi buatan istrinya kalah pahit dengan kondisi keluarganya kini.

Ia membatin sejak kelahirannya ke dunia, mengapa ia mewarisi nasib miskin ini. Kadang juga ia berpikir, ada yang miskin parah pun kaya mentereng. Tuhan-kah yang menciptakan semua ini? Sehingga hidup susah acap kali menjerumuskan ke dalam dosa?

Sangging sendiri kadang tak kuat, merasa ngos-ngosan ditelanjangi kerasnya hidup di bawah kesusahan. Kesadarannya sebagai orang beragama telah dibegal keadaan. Tangisan bayinya membelah magrib, berpacu dengan suara toa masjid-masjid.

Sejak kemarin, bayinya rewel. Susu formula tak kunjung mengaliri kerongkongan bayinya. Air susu istrinya kadang mampet oleh asupan gizi tak sebanding. Air beras sebagai pengganti ASI juga membuat jidat berkeringat. Harganya membumbung tinggi lalu menindih orang-orang susah tak bersawah senasib Sangging.

Sangging sering menunjuki langit, seolah memprotes Tuhan seraya berucap, “Apa yang harus aku syukuri, Tuhan. Menyembah-Mu dalam lapar aku tak bisa. Atau menyembah-Mu dalam ingsut tangis anakku mengharap ASI? Itu semua sudah kulakukan, namun seakan pintu langit tertutup rapat padaku. Tuhan, aku sanggup semuanya, andai tidak ada amanah-Mu yang harus kurawat.”

Tiap malam, istriku membenamkan wajahnya ke dalam bantal lusuh ini, menyembunyikan tangisnya dariku agar bebanku tidak semakin berat. Sayangnya, aku tahu itu. Tuhan, istriku menangis tertikam ketidaksanggupan.

*****

Sejak itu, Sangging tidak ber-Tuhan lagi lantaran kekecewaannya pada nasib, kepada pemimpin, dan kepada yang menggemari donasi masjid, menggemari umrah berkali-kali, tanpa sedikit pun menengok orang-orang sepertinya.

Sangging banting haluan menjadi sindikat celengan masjid. Hanya itulah pilihannya di waktu yang sulit ini.

Setiap waktu dan kesempatan, ia menggondol dana umat “celengan”. Ia sadar Tuhan tidak menyukai pencuri, tapi tak ada pilihan baginya. Modal usaha tak punya, apa lagi ijazah.

Dengan pilihan sebagai sindikat celengan masjid, keluarganya mulai membaik. Wajah istrinya kini sering ditumbuhi senyum, bahkan sumringah. Tubuh anaknya sedikit demi sedikit dilumat daging dan riang.

Pun demikian, watak baiknya masih tetap ada. Ia masih gemar membuang paku yang berhamburan di jalan, menggeser duri dari pejalan kaki ke masjid, bahkan mengais sampah yang menyumbat got ketika banjir melanda.

Ia tak menghitung itu pada Tuhan, tak juga menganggap itu amal jariahnya. Ia hanya tak mau sisi baiknya hilang akibat tak ada pilihan selain maling.

Kondisi telah membentuk cara ia berpikir. Kini, ia skeptis pada siapa pun, apatah lagi dengan orang baik musiman.

Ia kadang bertanya, “Ke mana orang-orang yang kita pilih dalam bilik kecil dulu? Mereka selama ini di mana, dikala hidup kian tragis oleh gilasan penghidupan? Selang beberapa tahun, ia kembali lagi dengan retorika sedikit mengutip bahasa Tuhan. Setelah itu, mereka kembali lupa wajah-wajah kami.”

Sangging kembali mendongak ke langit, bukan menunjuki.
“Tuhan, lihat! Bukankah orang itu lebih sering menyebut-Mu?
Lalu, kenapa ia sering kali jadi sumber kerusakan?”

Setelah puas memaki langit, ia pulang ke rumah dengan kresek penuh berisi pecahan ribuan sumbangan umat.

 

Baca Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup