Memimpikan Martil

Rumah itu sunyi. Tak ada penghuninya yang nampak. Di atas teras, hanya ada sebuah kursi dan meja. Di meja tampak sisa kopi yang dingin serta asbak penuh puntung. Halaman disinari lampu neon kuning, cahayanya jatuh ke tanah menangkap pemandangan kumuh di sekitarnya.
Pak Anju, seorang laki-laki paruh baya pemilik rumah itu, belum juga pulang sejak kepergiannya pagi tadi mengayuh becak.
Ia mempunyai tiga orang anak.
Nia, anak perempuannya yang pertama, merantau ke ibu kota mencari kerja, namun sejak setahun terakhir jarang berkabar.
Pak Anju kini tinggal dengan dua anak laki-lakinya. Keduanya putus sekolah setelah ibunya wafat terseret air ledeng.
Kini mereka ikut bekerja memenuhi nafkah keluarga dengan menjadi buruh lepas pengangkut batu di desanya.
Umur keduanya masih belum layak untuk berhadapan dengan pekerjaan berat sebagai buruh pengangkut batu, namun lapar adalah pembunuh paling jujur. Tidak bekerja, maka mati perlahan itu pasti.
Penghasilan Pak Anju dan dua anaknya itu cukup untuk sehari-harinya saja, itulah mengapa cemas selalu menghantuinya.
Bagaimana kalau sakit menghinggapinya? Jaminan hidup sebagai pengayuh becak dan buruh lepas tidak pernah terngiang atau bahkan menjadi wacana rapat pemerintah.
Padahal batu-batu cadas yang tiap hari memeras keringatnya itu, telah berhasil membangun gedung-gedung megah para pengembang bisnis properti.

Membangun sekolah, membangun rumah mewah para pejabat.
Bahkan membangun kantor-kantor pelayanan publik.
Jarum jam kini merayap di angka sembilan malam, Pak Anju belum juga pulang. Hal itu mengundang cemas bagi kedua anaknya. “Tidak biasanya.”
Keduanya lapar menunggu bapaknya pulang. Di atas meja ada sepiring nasi sisa tadi pagi, digoreng kembali dengan sedikit minyak, dicampur saus tomat instan. Agar sedikit berwarna. Karena katanya, warna lapar pun harus dirayakan.
Tidak lama berselang, bapaknya pulang dengan becak tuanya. Ia membawa pulang dua puluh ribu dan sekantong tahu isi yang lebih jujur dari pidato ekonomi.
Pak Anju tidak kalah lusuh dengan warna becaknya. Wajahnya muram.
Tampak kecewa setelah mengetahui Nia, anaknya di kota, menjadi perempuan panggilan hidung belang.
Ia merasa gagal menjadi seorang orang tua. Air matanya menetes tanpa mau dilihat kedua anaknya yang sejak tadi menantinya.
Ajaran prinsip tentang laki-laki tak boleh menangis ia langgar sendiri. Di kota, Nia tidak punya pilihan lain selain ngelonte. Ia tidak punya skill apa-apa. Di kampung ia cuma mahir membuat atap dari daun sagu.
Di kota tak ada pohon sagu tumbuh, yang tumbuh hanya bangunan bertingkat hasil pengusiran paksa dengan dalih kemajuan kota.
Nia berangkat ke kota hanya mengandalkan niat tulus untuk membahagiakan bapaknya, almarhum ibunya, dan kedua adiknya.
Tapi nasib berkata lain.
Di lorong malam yang bau dosa, ia menjual tubuhnya yang domplon, dengan harga yang cukup untuk sekadar tak mati kelaparan.
Dunia kelam kini menjamah tiap senti tubuhnya.
Dahulu Nia tidak tahu kalau kota tidak seramah dan seindah film FTV.
Kota hanya milik orang-orang kaya dan berpangkat, sisanya hanya manusia kumuh yang halal untuk dirampas hak dan harga dirinya, atau hanya menjadi lahan empuk rebutan suara dukungan kala perhelatan.
Pak Anju mencuci muka dan tangannya untuk memenuhi ajakan anaknya makan malam. Ia menatapi keduanya dengan harapan, kelak mereka jadi martil hancurnya keserakahan orang-orang penting di negeri yang sekarat ini.