Menembus Ratte: Potret Desa Yang Terisolir

Jumat, 27 Juni 2025 kami berangkat dari kota Polewali Mandar menuju satu desa terpencil di Kecamatan Tutar, ya Ratte, desa yang berada di bagian ujung timur Polewali Mandar dan berbatasan dengan Kabupaten Majene. Desa ini tidak begitu terlihat di permukaan dan jauh dari hiruk-pikuk kota. Sebagai desa yang jauh dari kata maju, beralaskan kehidupan dalam jejak-jejak tradisional.
Menggunakan sepeda motor menuju desa Taramanu dengan jarak tempuh 53 km, di sana kami akan berlabuh, tempat penyimpanan motor sebab akses jalan untuk menuju langsung ke desa Ratte tidak memungkinkan untuk dilalui. Sebenarnya ada akses jalan yang menggunakan sepeda motor tetapi kata Sofian selaku mahasiswa dari Ratte, “sekarang lagi musim hujan jadi motor tidak mampu lewat.” Maka kita mengambil akses jalan yang pada umumnya digunakan oleh masyarakat Ratte, yaitu dengan berjalan kaki.
Yaaah… apa boleh buat!! Lagian sudah lama juga saya tidak menggunakan kaki ini berjalan dengan jarak yang lumayan jauh. Saya ingin mencoba lutut ini apakah masih kuat atau tidak, apalagi jarang diajak berolahraga. Ya itung-itung dengan berjalan jauh seperti ini saya bisa berolahraga sambil belajar.
Hanya beralaskan sandal jepit dan ransel, kami ditegur oleh salah satu warga, “Kenapa tidak bawa parang?” ujar bapak yang tidak kami kenal dengan nada yang agak keras. Ia memberikan kami peringatan bahwa jalan yang akan ditempuh itu hutan. Lanjut ia mengatakan, “biasa ada ular.” Waduh, tidak ada persiapan, Sofian juga tidak mengatakan itu pada saat kami punya niatan untuk ke sini.
Dengan rasa was-was dan doa kepada Tuhan, kamipun memulai perjalanan. Tidak jauh dari tempat kami berjalan, di depan sana terlihat sungai yang membentang luas, tebing-tebing tinggi di sekitar terbentuk secara natural nan indah, suasana yang sejuk, hutan hijau yang belum tersentuh manusia turut memperindah pandangan. Sungai itu disebut sebagai Sungai Mandar oleh orang lokal, sungai yang membentang dari pegunungan dan bermuara sampai ke Tinambung. Untuk menyebranginya harus menggunakan rakit.
Rakit, sebuah alat penyebrangan yang terbuat dari bambu yang berjejer. Di bagian atas saya melihat rol panjang mengikat rakit tersebut agar ia tidak mudah dibawa oleh arus sungai, bambu panjang alat penentu arah juga ada di sana. Rakit sebagai penyebrangan seperti ini memang banyak kita temukan di bagian pedesaan Polewali Mandar ketika jembatan penghubung tidak ada. Masyarakat menggunakannya dari dulu bahkan sampai sekarang.
Umumnya setiap sungai yang menggunakan rakit sebagai penghubung antar desa, di sana ada yang menjaga untuk sekedar pemandu arah dan akan diberikan upah 2000 per orang bagi siapa saja yang ikut menumpang pada rakit tersebut.
“Bahai mai haci lea,” teriakan Sofian dengan bahasa khas daerah memanggil sang anak yang sedang asyik dan bersenang-senang sembari menunggu ada orang yang akan menyebrang. Mereka kemudian membawa rakit itu ke tepi untuk kami tumpangi. Penyebrangan pun dilakukan, alat bantu seperti bambu panjang tadi sebagai penentu arah dipakai oleh anak itu, bak supir yang mengantarkan ke tujuan.

Jalan setapak, kebun warga, dan hutan di samping kiri dan kanan turut meramaikan perjalanan kami. Satu hal yang diwaspadai, ketakutan akan hewan buas yang siap menerkam, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh warga Taramanu tadi.
Perasaan was-was, helaan nafas dan keringat bercampur aduk dalam perjalanan. 9 km bukan jarak yang pendek untuk dilalui dengan berjalan kaki. Jalan terjal, jurang yang dalam, tanjakan, dan penurunan yang begitu ekstrim kami lalui. Terbesik dalam fikiran saya bahwa anak-anak Ratte yang kemudian melanjutkan pendidikan di luar desa harus melalui ini ketika musim hujan datang. Bahkan ada video yang beredar di media sosial ketika seorang warga Ratte yang ingin berobat ke rumah sakit dalam keadaan yang cukup parah, mereka kemudian saling gotong royong untuk menandunya.
Menggunakan jalur belantara semacam ini dengan akses jalan yang ekstrim. Kata Sofian, “karena memang ini jalur yang paling dekat untuk menuju puskesmas kecamatan.” Saya yang hanya membawa ransel kecil pun sangat begitu lelah dan waspada melalui ini. Bagaimana dengan mereka? Berjalan cepat tanpa memikirkan hal yang tidak-tidak demi keselamatan orang yang ditandu. Ya mungkin pembaca sendiri yang akan menyimpulkan itu.
Setiap tanjakan yang berhasil dilalui, kami rehat sejenak untuk sedikit mengatur nafas dan kesiapan melalui tanjakan selanjutnya. Untungnya lagi anak sungai banyak ditemukan sehingga itulah yang diminum untuk sedikit memuaskan dahaga dari rasa haus yang mencengkram akibat lelah.
Dalam drama perjalanan ini, pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dilontarkan kepada Sofian. “Masih jauh Sofian?” ujar Sull menggambarkan ia ingin sekali cepat sampai di tujuan. Setiap yang kami tempati bersitirahat, pertanyaan itu tidak henti-hentinya diberikan. Bahkan Sull, dengan memperlihatkan kedongkolannya akibat lelah, melontarkan sumpah kepada Sofian, “Demi Allah?” gambaran agar Sofian harus jujur menjawab seberapa jauh lagi kami akan berjalan. Lucu juga! Sull yang bahkan malas untuk beribadah pun secara harfiah mengeluarkan nama Tuhan demi kenyamanan dan semangat untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Hari mulai gelap menandakan malam akan tiba, waktu menandakan pukul 18.50 WITA. Setelah melewati jalan yang panjang kurang lebih 4 jam perjalanan, akhirnya kami sudah dekat sampai pada tujuan. Jalur yang dibuka oleh warga untuk akses motor, medannya luas. Menandakan hal itu, kata Sofian jalur ini memang sengaja dibuat untuk sedikit memperpendek jalan kaki pada saat warga Ratte hendak ke kota.
“Dekat mi ada mi lampu,” kata Sull dengan kegembiraannya yang menandakan kita akan sampai di desa Ratte. Lantunan Alquran mulai terdengar di langit-langit malam bertaut dengan kebisingan anak kecil yang berlari-lari. Rumah pertama memperlihatkan kepada kami bahwa kami sampai ke tujuan dengan selamat.
Sesampainya di rumah Sofian, kamipun bersih-bersih dari lumpur yang menempel, pakaian basah akibat keringat dan hujan yang turut ikut dalam drama perjalanan. Sambutan hangat dari orang tua Sofian dengan menyuguhkan air tuak manis katanya sebagai pemulih kebugaran.
Perjalanan panjang menuju Desa Ratte bukan hanya sekadar pengalaman fisik menaklukkan jalan terjal, hutan lebat, dan derasnya sungai, melainkan juga sebuah cermin nyata dari kehidupan warga yang berjuang dalam keterbatasan. Di balik medan yang ekstrem dan akses yang begitu sulit, tersimpan semangat juang dan ketangguhan masyarakat Ratte yang tak bisa diremehkan.
Sebenarnya untuk jalur menuju desa ini ada tiga alternatif. Yang pertama jalur yang kami tempuh melalui desa Taramanu kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki 9 km, kedua jalur dari desa Tu’bi dengan menggunakan sepeda motor yang jarak tempuhnya kurang lebih 30 km dan pada saat musim hujan susah untuk diakses, ketiga jalur lewat Kabupaten Majene.
Warga Ratte hidup dalam pelukan alam yang belum tersentuh banyak pembangunan. Jalan setapak yang harus dilalui dengan berjalan kaki, rakit bambu sebagai pengganti jembatan, dan keterbatasan transportasi menjadi bagian dari rutinitas mereka. Namun, dari keterbatasan itu pula, kita belajar arti dari gotong royong, kesabaran, dan daya tahan. Mereka tetap hidup dengan semangat tinggi, menyambut tamu dengan kehangatan, dan menjalani hari dengan kesadaran bahwa hidup harus terus berjalan, seberat apa pun langkahnya.
Anak-anak yang harus menempuh jalur belantara demi pendidikan, warga yang bergotong royong menandu orang sakit melewati medan curam, dan keluarga yang membuka rumah dengan suguhan tuak manis adalah simbol kekuatan nilai sosial yang masih utuh di sana. Ratte bukan hanya sebuah desa terpencil di Polewali Mandar, tapi juga rumah bagi orang-orang tangguh yang mampu berjalan dalam gelap, menembus hujan, dan tetap menyambut pagi dengan senyuman.