Sando Pare yang Terpinggirkan: Krisis Identitas Petani Kampung

Desa Batupanga Daala merupakan desa yang kaya dengan bentangan alam yang indah. Berbagai jenis tanaman dan pepohonan tumbuh subur, burung-burung bertengger di pepohonan, bersuara merdu, bersiul riang bersama kawanan, memberikan energi tersendiri bagi mata dan telinga saat berkunjung di waktu senggang.

Selain bentangan alam yang indah, desa Batupanga, tempat sebagian besar masyarakatnya bergantung pada perrtanian, memiliki identitas peradaban yang telah lama disana. Seperti petani pada umumnya, mereka juga mengalami perubahan pola bertani. Pertanian adalah nyawa, kehidupan, dan denyut jantung keluarga mereka.

Seperti “Ibu Maria, bukan nama yang sebenarnya”, yang kini berusia 81 tahun, seorang warga Batupanga yang mendedikasikan sebagian besar hidupnya sebagai petani, juga dikenal sebagai sosok dengan pengetahuan yang mumpuni. Masyarakat setempat menggelarinya sebagai sando pare, yang memiliki ilmu spiritualitas tentang tanaman, dipandang memiliki kekuatan mistik yang bisa menjadi rambu-rambu dalam merawat tumbuh kembang tanaman para petani, Oleh karena itu-lah, Ibu Maria digelar Sando pare.

Sando pare sendiri merupakan sebutan bagi orang kampung di Sulawesi Barat, khususnya di Polewali Mandar untuk sosok yang dianggap memiliki ilmu spiritual tertentu dalam bidang pertanian, terlebih pada tanaman padi gunung. Identitas keilmuan ini lahir dan dirawat oleh tetua kampung secara turun-temurun. Pun demikian, hanya orang tertentu yang bisa mewarisinya. Biasanya hanya keturunan sando-lah yang akan mengambil alih ilmu tersebut, jika sudah dianggap mampu menerimanya maka ilmu diturunkan.

Kata ibu Maria, dulu, di tiap-tiap kampung, minimal terdapat dua sando pare. Lantas, apa peran sando pare seperti ibu Maria di tengah-tengah petani? Iya, pertanyaan itu yang hendak ibu Maria beberkan dalam pertemuan kami beberapa waktu lalu. Sando pare memiliki peran dan fungsi sebagai orang yang bakal memulai terlebih dahulu aktivitas bertani masyarakat sekitar, ia akan melakukan ritual dengan hafalan ilmu ajian mantra yang dimilikinya, sudah menjadi tradisi yang cukup kental, seperti menyiapkan benih tanam, mendoakan keberkahan tanah, hingga mendoakan tanaman agar berkah dan tidak diganggu binatang, hingga pasca panen tiba. Seperti itulah gambaran sederhana peran sosok sando pare di kampung, kata Ibu Maria.

Ibu Maria adalah sosok Perempuan petani yang mewarisi ilmu spiritual dalam bertani, dan identitas ini yang ia pegang. Dengan kepiawaiannya, ia meracik beberapa ramuan berbahan dasar tumbuh-tumbuhan dan membumbui ramuan tersebut sedikit mantra yang ia miliki. Apa yang coba dibangun Ibu Maria merupakan ideologi leluhurnya dalam praktek luhur dalam bertani, yang disebarkan melalui tradisi lisan yang belakangan marak dibeberkan kepada petani-petani kampung di masa-masa usia produktifnya, sekitar 50an tahun silam.

Ia mencontohkan bahwa, penghormatan seorang petani terhadap tanaman yang dibudidayakan, merupakan perilaku arif dan terhormat, menghormati hewan yang kini dianggap hama (menurtnya istilah hama baru muncul belakangan di kalangan petani kampung), menghormati tanah; bagi mereka, semua itu adalah perilaku yang harus terus dirawat, mereka kawan dalam kehidupan ini. Menurut Ibu Maria, “Hal mendasar itu harus menjadi pondasi utama dalam membangun perspektif seorang petani, seperti yang diajarkan tetua dulu.” Ucarnya.

Walau demikian, belakangan Ibu Maria, merasa generasi terakhir Sando pare di desa Batupanga Daala kian mengkhawatirkan, sebab tidak lagi ada generasi yang mengusik apalagi menguber-uber ilmu yang diwariskan secara turun-temurun itu, seperti kehilangan daya pikat pada generasi yang lahir belakangan, anak cucuk ibu Maria sudah tidak lagi melirik lebih jauh ilmu itu, ibu Maria juga tidak memaksakan kehendak, Ia berpikir mungkin sudah saatnya pengetahuan itu tidak lagi bersemayam dalam diri petani zaman sekarang. Alih-alih disematkan sebagai petani yang memiliki ilmu dan tradisi bertani seperti Sando pare, mereka lebih memilih disebut sebagai petani milenial yang berbasis sistem kapitalistik itu.

Regenerasi Sando pare mulai tergerus dan memuncak di tahun 1970-1980-an, salah satunya karena proyek pemerintah yang disebut PRPTE (Proyek Rehabilitasi peremajaan dan Perluasan Tanaman Ekspor, kakao) di kalangan petani Batupanga Daala. Proyek ini menjadi populer dengan penggunaan pupuk bersubsidi, pestisida sintetik, bibit dan teknis dasar budidaya tanaman kakao, produk ini menjadi primadona. Proyek yang melibas segala komoditas tani awal penduduk setempat seperti tanaman palawija juga tanaman pangan lokal seperti padi gunung dengan ragam varietas, gadung (undo), jagung yang diliputi kearifan lokal masyarakat setempat, perlahan sirna. Akibat proyek ini, sepenuhnya petani Batupanga dilanda demam kakao.

Proyek ini sekaligus mengikis peran ibu Maria sebagai sando pare hingga tak lagi menjadi gawai petani hingga kini.

Pemahaman petani tentang alam dan penghormatan terhadap mahluk lainnya, kini terbentur menjadi lawan, bukan lagi kawan. Saat itu pola yang dibangun pemerintah dan tradisi masyarakat tani berbenturan dibalik kolom langit, hingga orang seperti ibu Maria, sando pare tak lagi dipandang sebagai sosok yang mempuni mengatasi problematika yang dihadapai petani, peran sando pare di kampung kian rubuh, pondasi perspektif sohib dalam bertani antaran manusia hewan dan tanaman dalam bingkai spritualitas petani kian terdegradasi kian runtuh di masyarakat Batupanga dan nyaris raip ditelan zaman.

Ketika Sando pare tak lagi dibanggakan, petani kampung dalam krisis identitas.

Sando pare adalah simbol petani kampung yang menyematkan kuasa Tuhan, penghormatan terhadap alam dalam proses bertani” yang kini bakal jadi kisah belaka untuk generasi petani di sudut-sudut kampung di masa yang akan datang.

Muhammad Rizal
Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup