Sebuah Refleksi Dari Kisah Pak Tahir

Revolusi hijau telah merubah wajah pertanian dunia, tak terkecuali Indonesia. Tidak dapat dipungkiri revolusi hijau membawa dampak negatif bagi lingkungan. Maraknya penggunaan pupuk anorganik, pestisida, herbisida dan intensifnya eksploitasi lahan dalam jangka panjang membawa konsekuensi berupa kerusakan lingkungan, mulai dari tanah, air, udara maupun makhluk hidup. Penggunaan bahan-bahan kimia sintetis tersebut berimplikasi pada rusaknya struktur tanah dan musnahnya mikroba tanah sehingga dari hari ke hari lahan pertanian semakin kritis. Praktek-praktek pertanian modern yang dilakukan dengan tidak bijak mengakibatkan pencemaran lingkungan, keracunan, panyakit dan kematian pada makhluk hidup, yang selanjutnya dapat menimbulkan bencana dan malapetaka (Tandisau dan Herniwati, 2009).
Seperti yang dialami Pak Tahir sebagai petani kakao yang ada di Lingkungan Kalimbua Barat, Kelurahan Batupanga Kecamatan Luyo Kabupaten Polewali Mandar. Ia bertani kakao sejak tahun 1985 sampai sekarang. Banyak yang bisa dijadikan pelajaran, salah satunya bagaimana perlakuan kita terhadap tanaman, misalnya perlakuan terhadap kakao maupun tanaman lainnya. Mulai dari cara pemupukan hingga penggunaan obat pestisida.
“Hampir semua merek pestisida saya gunakan untuk tanaman kakao di kebun saya.” kata Pak Tahir. Lanjut Pak Tahir, awal masuknya perkebunan kakao tahun 1980an, belum terlalu banyak yang menggunakan pupuk dan obat-obatan. Tanaman masih tumbuh subur dan sehat tetapi, lambat laun lahan mulai berubah. Tanaman kakao tidak bisa berbuah dengan baik jika tidak dibantu Pupuk Urea, NPK,KCL dan PSP serta pestisida. Proses ini berjalan secara perlahan, setiap selesai pemupukan dan penyemprotan maka, akan mengeluarkan lagi buah yang baik dan petani bisa panen.
Tahun 1987 hingga 1999 kakao masih sangat produktif tapi, tidak dipungkiri penyakit mulai menghampiri. Memasuki tahun 2000an, penyakit atau hama tanaman tak terelakkan bagi petani kakao. Hampir tidak ada hasil jika tidak menggunakan pupuk dan pestisida. “Di sini saya melihat ada yang ganjil menurut karena, setiap penggunaan pestida merek baru, pasti muncul hama yang baru,” ucap Pak Tahir. Pada situasi itu, ia juga merasakan bagaimana kami harus berhutang untuk membeli pupuk dan obat dengan perjanjian akan dibayar pasca.
Tahun 2001, tanaman kakao masih diserang penyakit sehingga, hasil produksi kian berkurang. Situasi ini membuat banyak petani beralih menjadi tukang ojek, buruh bangunan, bahkan ada yang pergi merantau karena tanaman kakao tidak menjajikan lagi. “Saya sendiri pernah jadi tukang ojek sebab penghasilan tidak sebanding dengan biaya tanaman.” Jelas Pak tahir.
Tahun 2009 Gernas masuk ke kampung dengan membentuk kelompok tani agar mendapat bantuan pupuk, benih dan pestisida. Pak Tahir bersama petani lainnya mengempulkan KK dan KTP untuk persyaratan bergabung dalam kelompok tani. Berjalannya gernas maka, disini juga ia ikut sekolah lapang agar bisa menghasilkan produksi kakao yang maksimal. Sekolah lapang itu juga tidak berjalan dengan baik, ternyata sambung samping tidak bisa berjalan lama dan ongkosnya juga lebih besar. Sangat bergantung pada penggunaan pupuk dan herbisida. Awalnya memang baik tetapi, lama kelamaan buahnya mulai berkurang.
Hama sudah tidak bisa diatasi dengan baik sehingga, banyak yang menjadi buruh tani, cangkeh, kuli bangunan, tapi Pak Tahir tetap bertahan dengan beberapa petani lainnya. “Saya sebagai petani kakao merasa bingung karena harus gali lobang tutu lobang, kita ambil panjar di tengkulat lalu panen baru dibayar,” keluh Pak Tahir. Ia juga pernah membuat oplosan dengan mengambil 7 macam pestisida kemudian disatukan. Bauhnya sangat menyengat, semua orang yang lewat di kebun selalu bertanya, “ racun apari’e mupake papa keni?”sapa tetangga kampung. Ia juga pernah memakai pupuk boras untuk tanaman kakao, hasilnya lumayan tetapi, saat kemarau tiba, tanamannya sudah terserang penyakit kanker, bahkan hampir mati. Meski demikian, ia tetap bertahan karena tidak ada plihan lain.
Tahun 2016, Pak Tahir mencoba beralih dari pupuk kimia dan pestisida dan memakai pupuk kompos. Setelah beberapa bulan memakai pupuk kompos dari kotoran ternak kambing, ada perbedaan terhadap tanah. Tanah yang dulunya terdapat banyak cacing tetapi, setelah banyak memakai pestida maka cacing sudah jarang didapatkan di kebun, begitu juga dengan berbagai jenis burung . setelah memakai pupuk kompos, cacing mulai nampak.

Tahun 2017 Pak Tahir mulai belajar bersama beberapa pemuda, bertani secara alami yang ramah lingkungan dan mudah di dapatkan didapatkan di alam. Dari situ kesuburan tanah mulai nampak. Melihat pengalaman pak tahir, itu memberi pesan bahwa pertanian modern menggunakan pestisida harus dihindarkan agar tidak merusak alam, ekosistem dan kedaulatan petani.