So’bo, Riwayatmu Kini

So’bo, status yang disematkan masyarakat Polewali Mandar, Sulawesi Barat, pada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pertanian. Pengetahuan dan kemampuan itu mereka dapat dari ussul (suatu sikap, tindakan atau kegiatan yang dilakukan petani yang berangkat dari pengetahuan dan keyakinan petani tersebut).
Status so’bo hanya diberikan pada keturunan so’bo sebelumnya. Baik itu anak, saudara, keponakan, atau cucu yang juga memiliki kemampuan atau pengetahuan yang mumpuni.
Penyematan so’bo dianggap sangat sakral. Sebab seorang so’bo sangat paham dan memiliki kemampuan membaca tanda-tanda alam disertai ussul dalam dunia pertanian. Tidak diketahui pasti kapan mulai ada so’bo.
So’bo memiliki banyak peran dalam aktivitas pertanian. Para petani senantiasa meminta arahan, pandangan, atau solusi dalam bertani dari so’bo dari menentukan waktu baik dalam menanam sampai panen.
Pak Kaco, salah satu tetuah kampung di Batupanga Daala yang puluhan tahun bertani secara tradisional dan melibatkan so’bo dalam setiap proses bertaninya, menjelaskan, “Naissangi so’bo’ maitai mua’ najari andena pa’banua tahun iyari’e atau andang boi najari andena pa’banua, bulan nahitung” (so’bo bisa membaca situasi atau kondisi bahwa tanaman masyarakat akan membuahkan hasil yang baik atau justru sebaliknya. Olehnya, petani selalu mengikuti arahan dari so’bo, tidak ada yang mau melanggarnya).
Seorang so’bo mampu melihat dan menentukan cocok tidaknya sebuah lahan ditanami. Karena itu para petani biasa meminta mereka apakah lahan yang akan ditanami cocok atau tidak. Setelah menentukan lahan, so’bo masuk ke lahan untuk mappasa’bi (permisi) ke tanah, alam, dan seluruh makhluk yang ada di sekitar lahan sebelum lahan dibersihkan dan ditanami. Setelah itu, barulah petani mulai membersihkan lahan.
So’bo juga seringkali diminta menentukan waktu baik menanam. Dalam menentukan waktu, so’bo menggunakan hitungan bulan. Petani menanam mengacu hitungan tersebut. Waktu baik untuk menanam yaitu wattu bara’ (musim hujan), misalnya bulan Safar. Setelah itu mereka berhenti menanam dan menunggu bulan baik berikutnya. Saat bulassala (Jumadil Akhir), mereka tidak akan menanam karena so’bo menganggap itu bukan waktu tepat.
Pada masa itu, ketika bertani melalui arahan so’bo disertai ussul, para petani merasakan hasil pertanian yang baik. “Najari’i tongani tura’-tura na panguma mua’ naola towandi tia ussul na ilalang pangumangan” (tanaman petani membuahkan hasil yang baik ketika menjalani ussul dalam bertani),” kata Pak Kaco. Kala itu tanaman petani tumbuh subur, jarang sekali diserang hama atau binatang. Apa pun yang ditanam jika disertai ussul, semuanya tumbuh dengan baik, buah melimpah dan segar. “Berbeda dengan zaman sekarang, menanam tanpa ussul dan menggunakan pestisida, tanaman ramai diserang hama dan tanah pun mengeras,” ucap Pak Kaco.

Saat menanam, so’bo yang pertama kali menanam. Ia akan menanam pohon pada tujuh lubang. Bilangan tujuh lubang memiliki makna atau tujuan. Saat meletakkan benih ke dalam lubang, so’bo berdoa disertai ussul. Salah satunya agar tanaman tidak diganggu oleh hewan apa pun dan bisa tumbuh subur.
Saat tanaman mulai tumbuh, so’bo tetap mengambil peran penting. Para petani senantiasa meminta solusi dari so’bo jika ada kendala pada tanaman. Misalnya saat tanaman kurang subur. Ketika tiba waktu panen, so’bo jualah yang memulai pertama kali. Ketika so’bo sudah panen, maka petani yang lain berlomba-lomba memanen.
Peran so’bo mulai hilang sejak peralihan komoditi palawija ke kakao sejak 1982. Peralihan itu dipelopori pemerintah daerah melalui para penyuluh pertanian. Pola bertani tradisional para petani bergeser ke pola modern. Masa itu petani diperkenalkan dan diajarkan menggunakan pupuk kimia dalam dunia pertanian.
Masuknya kakao dengan menggandeng pupuk dan pestisida, telah menciptakan sistem bertani yang berbeda. Perlahan petani meninggalkan pola bertani yang melibatkan so’bo dan ussul. Kreativitas bertani yang dilakoninya secara turun-temurun dan merupakan warisan leluhurnya, perlahan punah. Bertani secara tradisional melibatkan so’bo dan ussul kini semakin tak terjamah. Akhirnya peran so’bo semakin tak tampak dan terancam sirna.
So’bo masih ada, tapi ia sudah tidak berperan seperti dulu. Ia tidak lagi mengawali setiap tahapan bertani, tidak ada lagi yang memanggilnya untuk mengobati tanaman atau menentukan waktu menanam. Perannya dalam dunia pertanian kini seperti petani yang lain, tidak lagi disakralkan dan difungsikan seperti dulu.