Sumur, Ember dan Cerita Lama

Ketelatenan perempuan memang sudah tidak diragukan lagi, sejak dini diterpa sedemikian rupa, bukan saja dipersiapkan untuk bakal calon istri yang handal, tetapi juga bekal untuk mengarungi bahtera kehidupanya sendiri yang bisa saja tampa sosok lelaki disampingnya. Kalimat klise yang selalu mengatakan bahwa perempuan harus putih cantik dan langsing, kian akan tertelang oleh pembuktian secara empirik dalam mahliga rumah tangga. Kira-kira mungkin begitu.

Jadi perempuan kini tidak hanya semestinya sibuk memperbaiki tampilan fisiknya tetapi juga ketelatenanya. Cinta yang coba dijatuhkan lelaki dewasa kian meluntur, memperhitungkan sosok calon pacar atau calon istri dalam cekaman visual belaka. Laki-laki semakin meluncur ke usia dewasa kian semakin banyak pertimbangan. kalau tidak percaya, coba tanyakan pada lelaki yang ada disekitarmu, yang bisa jadi usianya sudah menginjak dan menyandang status di KTP usia ideal untuk menikah. tanyakan saja apa alasanya belum menikah? tapi saran saya hati-hati, jangan sampai kena semprot. uppss, kita tinggakan membahas pernikahan, takutnya ada yang merasa tersindir, jadi nggak enak nantinya. Lagian menikah dan tidak menikah adalah pilihan.

Ngomong-ngomong, kalian yang tempat asal muasalnya dari Desa, sudah pasti sangat akrab dengan apa yang saya bahas dalam tulisan ngawur ini, tentang kebiasaan perempuan Desa. Mungkin kalian pernah atau sering melihat sesaat tinggal di Desa, berlibur, berkunjung, atau bahkan penghuni tetap. Tidak jarang menyaksikan perempuan dengan balutan sarung pada tubuhnya, pakai baju kaos bahkan daster, menggulung rambutnya seikat karet gula pasir, melenggak lenggok bersama ayunan ember yang menggelantung di pundaknya, bertujuan agar ritme air dengan gerakan senada, menghindari ember memuntahkan semua air sebelum sampai ke rumah, ia berjalan berlenggak lenggok bagai modeling, bagai perempuan di kota-kota besar.

Perempuan yang sedang memikul sepasang ember berisikan air itu tidak sedang mempertongtongkan tubuhnya, apalagi atribut pada badan-nya. Tidak sama sekali! ia hanya sedang melaksanakan, tugas. biasanya tugas dari pendahulunya, yang tidak lain adalah orang tuanya. aturan biasanya, tidak boleh pergi keluyuran bermain sama teman kalau tugas belum dikerjakan.

persis seperti perempuan-perempuan yang ada di Desa pada umumnya. Desa saya juga dulunya ramai di diami oleh perempuan yang rutinitasnya sama yang disebutkan di atas, rajin memikul air dari sungai atau air sumur ke rumah, bahkan hal itu dilakukan berkali-kali hingga di rumah baskom, bak penampungan air penuh.

Jejak rekaman di kepala masih terngiang, bahwa ada kesenangan tersendiri ketika mereka sedang lagi beramai-ramai bertemu di sumur atau sungai, bercerita, bercanda riang dan sebagainya. kini, di kampung saya penampakan seperti ini sudah minim nampak lagi, perempuan lenggak lenggok itu kian hanya bisa di saksikan di imajinasi kepala saja. Kelihaiyan sosok perempuan memikul air dengan ember mulai menipis, besar dugaan tidak sampai pada generasi tik-tok saat ini, yang berlenggak lenggok hanya di depan smart phone yang ia banggakan dan Ia pikul kemanapun kakinya melangkah.

Muhammad Rizal
Reporter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup