Wisuda Anak Sekolah, Sebuah Imitasi yang Perlu di Evaluasi

Hampir semua jenjang sekolah dari TK sampai SMA di beberapa daerah mewisuda anak didiknya yang telah menamatkan seluruh kegiatan belajar. Sementara itu gelombang protes dan penolakan bergemuruh dari berrbagai penjuru karena dianggap memberatkan orang tua.
pengertian wisuda tentu lebih familiar di kalangan mahasiswa dan merupakan babak akhir proses perkuliahan yang dianggap sakral di perguruan tinggi. Lembaran penutup dari perjalanan panjang abang – abang dan mbak – mbak di kampus yang berjuang antara mewujudkan harapan orang tua, panggilan idealisme dan do’i yang menuntut halal setelah wisuda.
Perayaan ini lebih tepatnya disebut kemenangan mahasiswa setelah bentrok dengan penguji di ruang sidang karna mampu mempertahankan skripsi yang diteliti lalu diuji secara teori.Ada satu Moment dimana tali toga dipindahkan dari kiri ke kanan, prosesi ini jelas bukan tanpa makna, melainkan simbol beranjaknya seseorang dari ruang berfikir logis menuju dunia yang lebih realistis dan dramatis. Walau demikian, ada juga yang memilih ngopi atau pulang ke kampung halamannya membuat kolam lele jumbo karna mereka yakin ada ide yang tak pernah mau iya wisuda.
Wisuda anak sekolah, bagi orang tuanya yang berkecukupan mungkin itu hal yang biasa – biasa saja, tak bikin ringkih apalagi sampai bikin rugi. namun bagi orang tua yang penghasilannya hanya cukup maalli sia dan membayar utang tempo hari yang belum lunas. Kegiatan semacam ini jelas menjadi beban baru yang bisa bikiin para orang tua menggerutu.
Tidak etis kalau turut mengecam bahwa acara wisuda versi anak sekolah itu bermasalah dan tak berfaedah. Atau turut andil memutus asa anak – anak yang tak tidur semalaman karna bayangan euforia wisuda memenuhi isi kepala. Meskipun sebagian orang mengiyakan bahwa kegiatan ini hanyalah imitasi dari perguruan tinggi dan seremonial tanpa “isi”. Olehnya itu mari kita bedah tipis – tipis apa keinginan dasar dari pelaksanaan wisuda ini? Apakah ada hal besar yang coba disiratkan oleh bapak ibu guru, misalnya dengan menekankan bahwa “ini loh nak sejatinya wisuda”. ataukah justru sekolah telah mengabaikan nilai – nilai pendidikan dan kemanusiaan?
Orang tua dibelahan dunia manapun akan senantiasa melakukan yang terbaik untuk anak – anaknya serta mensupport segala bentuk kegiatannya, entah itu jajan, jalan – jalan apalagi kalau hanya sekedar perpisahan. bukan tak mungkin, hal serupa akan orang tua lakukan, merelakan uang belanja kebutuhan rumah untuk biaya keperluan wisuda anaknya.
Namun, apakah anak – anaknya mengerti akan hal ini? boleh jadi hanya sedikit anak yang mampu memahaminya, dan boleh jadi ada anak yang memaksa sambil menggebrak pintu mana kala keinginannya tak jua mendapat restu. Pada bagian inilah guru diharapkan mampu memainkan perannya, mendekapnya dan marramo – ramo dengan penuh kelembutan ” Ndak usah dipaksa Nak kalau Bapak Ibumu belum punya biaya”. kalimat sederhana yang sejatinya harus nampu diucapkan oleh pendidik yang semestinya lebih bisa memahami keadaan, bahwa ada anak didiknya yang hidup mapan ada pula yang hidup serba kekurangan.
Rumah dan sekolah dua hal yang tak dapat dipisahkan, tempat dimana ia tumbuh, bermain dan belajar. Sekolah tidak boleh bikin praktek belajar yang memisahkan anak didik dari dunia luar bahkan suasana rumah mereka sendiri. Tempat Dimana seorang anak bermimpi mengangkat derajat keluarga walau kadang harapan itu bersimpuh di hadapan kenyataan.

Sekolah tidak boleh membuat Anak – anak lupa pada dirinya, di meja belajar dia bisa tahu bagaimana cara kerja hukum gravitasi, namun di rumah mereka tetap harus menjadi anak yang berbakti. Anak – anak seharusnya tidak malu mengakui jika rumahnya beralaskan lattang na meate rombia dan tak ada perabot yang istimewa di ruang tamu selain bope tua lapuk tempat ibu bapaknya menyimpan nostalgia.
Sekolah layaknya rumah kedua bagi anak – anak dimana mereka tetap bisa berbesar hati menceritakan bahwa di meja makan hanya tersedia tembang masing tunu sebagai menu paling mewah yang mereka santap tiap harinya. Bangga menuliskan dan menceritakan kepada temannya sepenggal cerita bahwa bapaknya seorang petani atau buruh harian lepas yang berpenghasilan lebih dari cukup untuk membeli seliter beras. Sementata ibu, perempuan perkasa, dari pagi hingga malam mengurus segala keperluan rumah yang tak kenal lelah apa lagi berputus asa diusianya yang tak lagi muda.
Idealnya, sebuah proses pembelajaran tidak menjadikan anak sebagai penerima informasi pasif dan menjadi objek belajar. Dalam konteks ini, anak didik tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi juga aktif mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri dan terlibat secara penuh dalam proses pembelajaran. Hidup dan kehidupann anak harus dihadirkan secara utuh di dalam proses pembelajaran, mereka adalah pribadi yang sama saat di rumah ataupun di sekolah.
Dengan menempatkan anak didik sebagai subjek belajar, diharapkan proses pembelajaran menjadi lebih efektif, menyenangkan, dan relevan dengan kebutuhannya. sehingga dapat menghasilkan lulusan berkualitas yang tidak hanya jago matematika, fisika tapi juga berdaya di dalam realita yang penuh dengan dinamika.
Freire pilsuf kelahiran 104 tahun silam, tokoh yang terkenal dengan konsep pedagogy of pressed ini pernah ngomong begini bahwa model pendidikan yang disebutnya sebagai “banking education” (pendidikan gaya bank), dimana guru sebagaii otoritas tunggal yang “mengisi” siswa dengan pengetahuan llladalah sesuatu yang menyimpang. Menurutnya, pendidikan harus melibatkan dialog aktif antara guru dan anak didik, menciptakan hubungan yang setara dan membangun kesadaran kritis (pendidikan kaum tertindas).
Apakah mungkin yang dimaksud freire juga identik dengan model pendidikan yang dikenyam anak – anak kita? Apakah wisuda adalah perayaan atas proses yang telah dicapai oleh pendidik dalam menempa anak didiknya memahami dirinya, potensinya, kemampuan, minat bakat serta karakter yang terpendam dalam dirinya? Atau hanya foto menjadi bagian terpenting dari acara ini yang hanya akan menghuni beranda sosial media?
Boleh – boleh saja bapak ibu guru melakukan improvisasi guna memotivasi anak didik mempersiapkan dirinya ke jenjang yang lebih tinggi. Namun esensi dasar dari pendidikan yang luhur dan humanis jangan sampai ikut terkikis. Mendidik anak adalah proses yang tak dapat dinilai pada pencapaian akhir. Tentu bapak ibu guru di sekolah lebih paham soal ini ketimbang kami bapak – bapak kumal yang terlunta – lunta ditengah pergumulan dominasi Gen Z dan era digital.
Ketika anak usia dini menghiasi harinya bermain dan mengasah saraf motoriknya dengan baik, dia telah melewati masa luar biasa bagi dunianya tanpa memenuhi isi kepalanya dengan huruf dan angka – angka. Di sekolah menengah pertama, anak – anak tumbuh dan mulai mengembangkan bakatnya. Terjalin interaksi yang sehat serta tumbuhnya nilai nilai moral dan etika. Dan tak kalah pentingnya, mereka Mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan tanpa diferensiasi antara si bodoh dan si pintar. Anak Sekolah menengah atas berada pada periode yang cukup krusial. Pada fase ini seorang anak sudah mulai membentuk identitas diri mereka, bahwa setiap pilihan meski dipertanggung jawabkan.
ekstasi yang berlebihan pada perayaan atau perpisahan, kadang membuat seorang lupa atas substansi (pendidikan) yang telah dicita – citakan. Jika wisuda Sekolah adalah pencapaian, maka anak yang tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, beradab dan bertanggung jawab adalah hal besar yang harus dibanggakan.
Bagian akhir dari opini random ini saya mau mengutip puisi yang ditulis oleh Sapardi djoko Damono “Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi. Semoga anak didik kita menjadi bunga abadi dengan nilai yang tak pernah bisa dirayakan oleh waktu.