Direktur Eksekutif Nasional Walhi Yang Terpilih, Cacat Prosedur Dan Menggunakan Politik Kotor
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hadir sebagai kekuatan rakyat yang majemuk, lintas isu, dan lintas wilayah. Juga merupakan rumah besar gerakan aktivis dan lembaga lingkungan hidup di Indonesia.
Suksesi kepemimpinan WALHI adalah proses konsolidasi politik organisasi untuk memastikan arah perjuangan tetap berpijak pada nilai-nilai keadilan ekologis, kedaulatan rakyat, dan keberlanjutan. Setiap prosesnya dirancang untuk menjaga integritas organisasi, membangun konsensus kolektif, dan menegaskan bahwa kepemimpinan di WALHI tidak lahir dari ambisi personal, melainkan dari kepercayaan yang dibangun bersama.
Pada kegiatan Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dilaksanakan pada 18–25 September 2025 di Gedung MPL Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, dengan tema “Daulat Rakyat Meneguhkan Ekonomi Nusantara untuk Keadilan Ekologis”, telah dilakukan pemilihan Direktur Eksekutif Nasional (EN). Namun prosesnya diduga menyalahi legitimasi kepemimpinan di WALHI dan mencederai integritas organisasi.
“Mestinya Panitia Pengarah atau SC PNLH XIV WALHI menyadari dan mengakui kenyataan adanya cacat prosedural administrasi yang dijalankan pada proses pemilihan Direktur EN WALHI, karena tidak berdasarkan Statuta WALHI dan Surat Keputusan Panitia Pengarah serta jauh dari harapan dalam merawat regenerasi kepemimpinan gerakan,” ucap Andi Makkasau sebagai peserta peninjau dari Dewan Daerah WALHI Sulawesi Barat.
Merujuk pada Surat Keputusan Panitia Pengarah PNLH XIV WALHI Nomor 07/PP/PNLH-XIV/VIII/2025 yang resmi mengumumkan daftar calon Eksekutif Nasional 4 orang dan calon Dewan Nasional 7 orang periode 2025–2029. Penetapan tersebut dikeluarkan setelah melalui proses verifikasi administrasi, uji publik, dan uji kompetensi.
“Karena telah ditetapkan ada 4 orang calon Direktur Eksekutif Nasional, kemudian akhirnya menjadi 2 orang, maka prosedurnya pihak Panitia Pengarah atau SC membuat SK yang baru dan membatalkan atau mencabut SK lama tentang penetapan calon. Kemudian keputusan tersebut dibacakan di forum PNLH guna menegaskan komitmen terhadap keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas,” tegas Andi Makkasau.
Seperti yang diketahui, pada saat tahapan penyampaian visi misi para calon Direktur Eksekutif Nasional (EN) WALHI, ada 2 orang calon EN yang setelah berorasi kemudian menyatakan mundur dan menyerahkan dukungannya ke calon lain.
Sikap dan perilaku calon yang mundur secara lisan tanpa membuat surat pernyataan mundur secara tertulis dan menyerahkannya kepada Panitia Pengarah adalah bentuk integritas calon yang ambigu. Seharusnya pengunduran diri calon EN WALHI telah diterima sebelumnya, lalu disahkan oleh Panitia Pengarah untuk membuat keputusan yang baru, kemudian dibacakan di forum PNLH. Namun prosedur tersebut tidak dilakukan.
Suksesi kepemimpinan WALHI adalah proses konsolidasi politik organisasi untuk memastikan arah perjuangan tetap berpijak pada nilai-nilai keadilan ekologis, kedaulatan rakyat, dan keberlanjutan. Setiap prosesnya dirancang untuk menjaga integritas organisasi, membangun konsensus kolektif, dan menegaskan bahwa kepemimpinan di WALHI tidak lahir dari ambisi personal, melainkan dari kepercayaan yang dibangun bersama.
“Suksesi kepemimpinan di WALHI sebaiknya tidak menggunakan politik kotor, karena bertolak belakang dengan upaya menguatkan cita-cita bersama, keadilan ekologis, dan kedaulatan rakyat.
Tahapan uji kompetensi, uji publik, menguji gagasan, keteguhan sikap, dan mengukuhkan keputusan kolektif akan jadi kesan formalitas semata bagi syarat calon EN bila aturan organisasi sengaja dilemahkan,” tutup Andi Makkasau sebagai utusan Dewan Daerah WALHI Sulawesi Barat pada PNLH XIV WALHI di Sumba Timur, NTT.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan