ESAI NARATIF

“Keadilan yang Terkubur: Perempuan, Kuasa dan Luka Hukum”

Dalam ruang yang sederhana dengan cahaya samar-samar, kami sedang duduk bersama dua lelaki paruh baya. Ia berseru dengan suara lantang, curhatan demi curhatan pun terus dilontarkan. Raut wajah penuh harapan terlihat di keheningan malam itu. Rasa sedih dan marah yang membara bersatu dalam helaan napas panjangnya.

Ia memanggil kami bukan hanya untuk mendengar keluhnya, melainkan dengan harapan dapat membantu kasus anaknya yang dihamili oleh oknum polisi yang enggan bertanggung jawab.

Langkah demi langkah telah ia lakukan sebagai upaya agar mendapat pertanggungjawaban, tetapi belum juga mampu menemukan titik terang. Bahkan kedua lelaki itu—bapak dan paman dari korban—mengatakan ia sudah sampai pada pihak keluarga pelaku, namun naas, jawaban yang diberikan irasional untuk sekadar memberikan ketenangan bagi korban.

“Kita sudah ke Jeneponto, Dek, untuk temui keluarganya pelaku, cuma jawabannya butuh video. Masa sementara BF divideo orang? Kalau bodoh jangan terlalu diperlihatkan,” ujar AK, paman dari korban, dengan gaya nyeleneh dan amarah yang membara.

Saya mencoba melihat ke arah ayah dari korban. Tatapan kosong, bungkam, tidak berkata apa-apa, seolah ia sudah putus asa dengan kejadian yang dialami anaknya. Ia bahkan enggan melihat ke arah kami.

Tidak sampai di situ, kasus itu pun dibawa ke pihak kepolisian dengan standarisasi penanganan kejahatan yang ditangani oleh Propam, dan hasilnya pun sama: tidak memberikan keadilan pada korban. Sebab, pelaku hanya diberikan hukuman penahanan selama 30 hari dan skorsing penundaan kenaikan jabatan.

Rina, 22 tahun, anak pertama dari tiga bersaudara, mengatakan bahwa sidang yang telah berlangsung di kantor kepolisian Polewali Mandar itu terdapat kejanggalan di dalamnya. Bagaimana tidak, pertanyaan-pertanyaan dilontarkan kepadanya seakan-akan mengintimidasi. Bahkan ia sendiri pun tidak didampingi oleh orang-orang yang berada di sampingnya. Yaaaah, entahlah, saya tidak tahu bagaimana SOP penegakan hukum bagi Propam itu sendiri. Dan membayangkan proses sidang itu terjadi dalam ruang kepolisian, saya juga tidak mampu. Yang ada hanya beberapa orang berbaju cokelat dengan gagah, dan perempuan yang sedang mengandung anak salah satu dari mereka.

Wajah penuh harap dari kedua orang tua itu, dengan suara tertatih-tatih, seolah mereka telah mendapatkan kebuntuan untuk anaknya yang hamil enam bulan.

Kebingungan dan keputusasaan terpancar dari wajah yang renta itu. Mereka bingung, kepada siapa lagi kami berseru untuk keadilan? Pihak penegak hukum sendiri yang telah melakukan kesalahan juga tidak memberikan pertanggungjawaban yang jelas.

Ia hanya diberikan sanksi kode etik kepolisian. Namun setelah itu, apa? Apakah anak yang akan lahir itu akan dirawat oleh seorang ibu dan tidak dinafkahi oleh seorang bapak?

Seorang oknum polisi yang punya tanggung jawab besar untuk mengayomi masyarakat enggan mengurusi anak yang ia buat sendiri? Lucu juga ya! Ada apa dengan institusi yang satu ini?

Saya malah bertanya-tanya dengan sidang kode etik yang telah berlangsung: apakah standar hukuman bagi pelaku kejahatan seperti polisi tidak mempertimbangkan keadilan bagi korban? Yang nantinya muncul beban moral yang menghantui terus-menerus? Dan bagaimana dengan anak yang akan lahir, yang tidak punya dosa sama sekali dan akan menanggung pahitnya kehidupan?

Bagaimana perasaan ibu dan bapak yang selama ini merawat anaknya dengan penuh kasih sayang, namun yang ia dapati ialah satu hal yang memilukan?

Kisah ini tidak sekadar tentang seorang perempuan yang diperlakukan tidak adil oleh seorang oknum kepolisian, tetapi lebih dari itu: ia adalah potret nyata ketidakadilan struktural yang dialami perempuan dalam sistem hukum dan sosial yang masih dikuasai oleh logika patriarki.

Dalam kasus ini, perempuan diposisikan sebagai pihak yang lemah, yang suaranya teredam di balik kekuasaan institusi berseragam cokelat. Proses hukum yang seharusnya memberikan perlindungan justru melahirkan intimidasi. Sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku hanyalah sebatas kode etik internal, tanpa mempertimbangkan trauma, beban psikologis, dan masa depan perempuan serta anak yang akan dilahirkannya. Hal ini menunjukkan bagaimana standar keadilan yang berlaku lebih mengutamakan menjaga nama baik institusi daripada pemulihan hak-hak.

Harapan orang tua korban yang berwajah renta itu adalah panggilan nurani agar keadilan tidak berhenti pada aturan administratif, tetapi hadir dalam bentuk perlindungan nyata bagi perempuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version